“A Barefoot Dream” (Tae-gyun Kim, 2010) sebuah film yang diangkat dari kisah nyata yang terjadi di Timor Leste.
Inti cerita mirip dengan kisah pembentukan tim nasional cilik Indonesia. Tapi dalam “A Barefoot Dream” pelatih adalah seorang mantan pemain profesional dari Korea Selatan yang datang ke Dili untuk berdagang, meninggalkan kariernya sebagai pemain sepak bola.
Di Dili ia melihat bakat terpendam dari anak=anak yang bermain sepak bola di lapangan kota. Ia pun beralih menjadi pelatih meski awalnya ia sebenarnya mau menjual sepatu bola dengan cara dicicil kepada anak-anak itu.
Film ini tidak hanya menceritakan upaya seorang pendatang menyesuaikan diri dengan keadaan di negara asing, saling tolong di antara sebangsa, tapi juga interaksi yang terjadi di sebuah negara baru. Bahasa yang tampil dalam film terdiri atas bahasa Indonesia, Inggris, Jepang, Korea dan Tetun. Campur aduk. Masing-masing omong dalam bahasa mereka sendiri. Kata-kata yang keluar mewakili isi hati namun mereka yang berkomunikasi sebenarnya bercakap dengan isi hati mereka sehingga komunikasi tetap terjadi.
Film ini juga bisa menangkap sekaligus menampilkan kemiskinan, ketegangan hidup di Timor Leste. Adegan-adegan kecil mewakili kehidupan kampung, kelucuan karena upaya interaksi tanpa bahasa yang sama, kekerasan hati rakyat Timor Timur, kekentalan mereka terhadap ibadah menurut agama Katolik, letupan dan bentrokan yang bisa terjadi setiap saat, dan seterusnya. Harus diakui kepintaran penulis skenario dalam merangkai semua itu menjadi sebuah cerita.
Cerita yang pasti menyentuh rasa haru, bangga, dan mengajak penonton untuk merasakan hal tersebut. Sungguh patut ditonton untuk dipelajari cara membuat cerita yang sederhana, tidak berupaya menampilkan kebesaran dalam bentuk adegan-adegan kolosal atau wah, tapi kebesaran itu tampak dari teknik editing dan ekspresi para pemain. Ekspresi masing-masing pemain dalam berakting merupakan kunci kesempurnaan pembuatan film ini.
maka dari itu menarik bagi di analisis dalam konsep komunikasi yang ada dalam film ini sala.
Komunikasi Sosial – Bertujuan
membangun konsep diri, sebagai aktualisasi diri, kelangsungan hidup, memupuk
hubungan, serta memperoleh kebahagiaan. Disini terlihat bahwa komunikasi sosial
adalah komunikasi paling umum yang digunakan sehari-hari. Dalam Film ini,
komunikasi sosial juga dipraktikan saat Kim Won-Kang mengajarkan sepakbola.
Saat ia mengatakan kata ‘Bagus’ kepada para muridnya, secara tidak langsung ia
telah membantu membangun konsep diri mereka bahwa mereka bagus dalam bermain
sepak bola.
Komunikasi Ritual – Merupakan
komunikasi berupa perilaku simbolik, seperti dalam upacara-upacara keagamaan.
Komunikasi Ritual dalam film ini contohnya terlihat pada menit ke 23:09, dimana
saat itu Tua dan adiknya mengikuti ibadah di gereja katolik.
Komunikasi Instrumental – Fungsi ini
digunakan untuk menginformasikan, mengajar, mendorong, mengubah sikap dan
keyakinan dalam hal ini sifatnya adalah persuasif. Saat Kim Won-Kang melatih
sepak bola. Itu salah satu bentuk komunikasi Instrumental yang ia gunakan.
Komunikasi Ekspresif – Merupakan bentuk
ekspresi dari perasaan-perasaan sesorang. Dalam film ini misalnya, saat
anak-anak pertama kali diberi sepatu bola ‘dengan cicilan’ mereka mampu mencetak
gol dalam pertandingan pertama di menit ke 19 dan menari untuk merayakannnya.
Itu adalah salah satu bentuk komunikasi ekspresif yang mereka lakukan untuk
mengungkapkan perasaan mereka. Komunikasi ekspresif juga terlihat saat kakaknya
Ramos marah karena Ramos mencuri stereo, dia marah pada Ramos di kantor polisi
dan mendorong sambil berbicara dengan suara yang keras.
2. Prinsip-Prinsip Komunikasi :
Komunikasi adalah proses simbolik – lambang yang
digunakan dalam film jelas cukup beragam. Lihat saja dari segi bahasa
verbalnya. Ada bahasa Indonesia, bahasa Korea, bahasa Inggris, bahasa Tetun,
dan bahasa Portugis. Dua yang terakhir merupakan bahasa resmi di Timor Leste.
Bahasa-bahasa tersebut merupakan simbol karena pada dasarnya, kata tidak
memiliki arti, hanya saja arti dari sebuah kata ditentukan dengan kesepakatan.
Setiap perilaku mempunyai potensi
komunikasi – yang paling ditonjolkan dari prinsip ini adalah bahwa sikap apapun,
termasuk DIAM, juga dapat menjadi suatu bentuk komunikasi, apabila ada orang
yang mempersepsi arti dari diam tersebut. Di menit ke 12, saat Kim selesai
check out, dia keluar dari hotel dan Tuan Park datang. Tanpa Kim berbicara,
Tuan Park dapat menyimpulkan bahwa Kim hendak ke bandara. Sikap diam dan
non-verbal (pakaian, barang yang dibawa) mengkomunikasikan banyak hal kepada
Tuan Park sehingga ia dapat menarik kesimpulan.
Komunikasi mempunyai dimensi isi dan
dimensi hubungan – Isi adalah apa yang disampaikan (terkait pesan verbal)
dan hubungan adalah bagaimana cara isi disampaikan (terkait dengan non-verbal).
Saat Kim mengatakan pada anak-anak bahwa mereka boleh membayar harga sepatu
kapan saja, non-verbalnya menunjukan bahwa ia sedih dan kecewa. Ini menunjukan
bahwa dimensi isi dan dimensi hubungan Kim bertolak-belakang.
Komunikasi berlangsung dalam berbagai
tingkat kesengajaan – Ada komunikasi yang disadari dan direncanakan dan ada
pula komunikasi yang tidak disadari ataupun direncanakan. Komunikasi yang
direncanakan terlihat melalui banyak dialog yang terjadi dalam film ini sementara
komunikasi yang tidak direncanakan terlihat di menit 132 saat Tuan Park membawa
surat sponsor dari Basic House, Kim menangis sehingga Josephine yang menerima
pesan tidak sengaja itu, kemudian bertanya pada Kim “mengapa anda menangis?”.
Komunikasi terjadi dalam konteks ruang dan
waktu – Hal ini berarti jika ruang dan waktu berbeda, makna pesan bisa juga
berbeda. Di menit 48, saat Tuan Park datang ke rumah Kim di tengah malam, ia
mengetuk pintu. Kedatangannya tentu akan memberi makna yang berbeda jika
dibandingkan dilakukan di siang hari. Kedatangan seseorang ke rumah orang lain
serta ketukan di pintu pada malam hari biasanya menunjukan sesuatu yang penting
dan darurat.
Komunikasi melibatkan prediksi peserta
komunikasi – Dalam berkomunikasi, seseorang tentu mempertimbangkan efek yang akan muncul
dari komunikasi yang ia lakukan. Hal ini biasanya merujuk pada nilai-nilai tata
krama. Dalam film ini, saat Kim mengunjungi rumah Ramos untuk merekrutnya, ia
mengatakan Permisi (sesuai subtitle) meskipun sebenarnya yang ia katakan adalah
“ Ada orang?”. Kebiasaan untuk menyapa sebelum memasuki rumah berdasar pada
prediksi tentang respon baik yang akan diterima jika hal itu dilakukan.
Komunikasi bersifat sistemik – Dalam komunikasi,
pihak-pihak yang melakukannnya memiliki sistem Internal dan Eksternal. Internal
seperti kerangka rujukan, bidang pengalaman, kognitif, pola pikir, keadaan
internal serta sikap. Sementara eksternalnya adalah lingkungan tempat kegiatan
komunikasi terjadi. Kegaduhan, cahaya, kata-kata yang dipilih, penataan,
temperatur dan lain-lain. Disini, sistem Internal seperti yang dimiliki
Montavio dan Ramos adalah bahwa kerangka rujukan mereka tentang perang saudara
sangat kuat sehingga pola pikir mereka juga terbentuk tentang hal demikian.
Sistem Eksternal di film ini contohnya adalah lingkungan fisik di Timor Leste
yang berdebu saat panas dan berlumpur saat hujan.
Semakin mirip latar belakang
Sosial-Budaya, semakin efektiflah komunikasi – Disini memperlihatkan
bahwa kesamaan sosial-budaya membantu orang-orang yang berkomunikasi agar apa
yang ingin mereka sampaikan dapat diterima sesuai dengan apa yang diinginkan.
Misalnya dalam film ini, saat orang korea bertemu dengan orang korea lain dan
berkomunikasi tentu komunikasinya akan lebih efektif dibandingkan saat orang
korea bertemu dengan orang timor leste dan berkomunikasi.